
Tabanan, ken-kenkabhare.com | Bali Lintas Media – Sebagai rangkaian dalam rangka menyambut Hari Suci Nyepi Tahun Saka 1945 yang tahun ini jatuh pada hari Rabu tanggal 22 Maret 2023 dua Desa adat yang ada di Desa Antap Kecamatan Selemadeg Kabupaten Tabanan yaitu Desa adat Antap Kaja dan Desa adat Antap Delod Sema serentak melaksanakan kegiatan melasti/mekiyis pada hari ini Senin (20/3). Kegiatan diawali dengan persembahyangan di Pura Kahyangan Puseh lan Desa Bale Agung kemudian dilanjutkan dengan masyarakat/krama adat ngiringan Ida Bethara dan Tapakan Sami ke Segara/pantai dengan membawa sarana atau perlengkapan sakral dari pura yang ada di desa adat masing-masing, seperti arca, pratima, dan pralingga dengan tujuan disucikan. Setiap masyarakat juga menyiapkan sesajen sesuai kemampuan masing-masing untuk melengkapi upacara. Iring- iringan melasti ke Segara/Pantai Antap dilakukan dengan cara memargi (berjalan kaki /tanpa menggunakan kendaraan) yang berjarak kurang lebih 4 km dari Desa adat Antap Kaja serta selama perjalanan di iringi oleh tabuh bleganjur oleh sekha Truna truni setempat.
Terdapat beberapa tujuan yang menjadi dasar makna upacara Melasti
Hal ini tertulis pada sebuah Lontar Sundarigama dan Sanghyang Aji Swamandala yang dirumuskan dalam bahasa Jawa Kuno, yang berbunyi: “Melasti ngarania ngiring prewatek dewata angayutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana” Yang artinya meningkatkan Sradha dan Bhakti kepada para Dewata manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa, dan mencegah kerusakan alam.
Jika diartikan secara sederhana, Upacara Melasti memiliki arti atau makna yaitu nunas (meminta) tirta amerta, penyucian bhuana agung (alam semesta) dan bhuana alit dalam menyambut tahun baru saka, tepatnya pada tanggal satu sasih kadasa yaitu hari raya Nyepi.
Rangkaian Nyepi dimulai dari Melasti, kemudian Tawur Agung Kesanga, dilanjutkan Pengerupukan, hingga akhirnya Nyepi. Tawur Agung Kesanga dilaksanakan dengan melakukan upacara di catus pata (perempatan) desa yang dianggap sebagai titik temu antar ruang dan waktu. Upacara lalu dilanjutkan dengan melakukan pecaruan di rumah masing-masing. Setelahnya dilanjutkan pawai ogoh-ogoh mengelilingi desa. Hal itu bertujuan menyerap energi negatif dan meleburnya, dengan disimbolkan melalui pembakaran ogoh-ogoh yang telah diarak.
Penulis : ( Dyuda)