
Denpasar, Bali – Fakultas Hukum Universitas Warmadewa menyelenggarakan kegiatan Bedah Buku yang dirangkai dengan Forum Group Discussion (FGD) pada Rabu, (30/4/2025), bertempat di Kampus Universitas Warmadewa. Kegiatan ini mengangkat tema: “Mengkritisi Persoalan Tanah di Bali: Eksploitasi atau Konservasi dalam Perspektif Politik Hukum Pertanahan.”
Acara dibuka oleh Dekan Fakultas Hukum, Dr. Ni Made Jaya Senastri, S.H., M.H., dengan dihadiri Wakil Dekan, Kaprodi dan mahasiswa Fakultas Hukum, Prodi Magister Hukum, Magister Kenotariatan, dan Program Doktoral Ilmu Hukum, Universitas Warmadewa.
FGD ini dipandu oleh Dr. I Wayan Rideng sebagai moderator dalam diskusi yang menghadirkan para penulis buku, Prof. Dr. I Made Suwitra, S.H., M.H., judul buku “Kupas Tuntas Keberadaan Sanksi Adat Kesepekang Dalam Pendaftaran Tanah di Bali”, dan Prof. Dr. Drs. I Wayan Wesna Astara, S.H., M.Hum., judul buku “Politik Hukum Pariwisata, Ekowisata dan Persoalan Tanah Untuk Kepentingan Industri Pariwisata”.

Sementara dari Tim Bedah Buku, Prof. Dr. Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, S.H., M.H., Guru Besar dan dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. Dewa Putu Oka Prasiasa, A.Par., M.M., Guru Besar dan dosen Universitas Dyanapura, dan Dr. I Made Pria Dharsana, S.H., M.Hum., dari Prodi M.Kn. Unwar.
Rideng, menyampaikan bahwa FGD ini mencoba untuk membedah secara kritis persoalan agraria di Bali yang semakin kompleks akibat tekanan ekonomi, pariwisata, dan kebijakan pertanahan yang belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan masyarakat lokal dan lingkungan.
Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Hukum, Dr. Ni Made Jaya Senatri menyampaikan bahwa forum ini merupakan bentuk tanggung jawab akademik dalam menjawab isu-isu strategis yang dihadapi Bali saat ini, khususnya dalam bidang pertanahan. “Isu pertanahan di Bali menyentuh berbagai dimensi: dari aspek hukum, sosial, budaya, hingga ekologi. Maka perlu pendekatan multidisipliner yang bersumber dari kajian ilmiah dan refleksi kritis,” ujarnya.
Dalam sesi bedah buku, Prof. Suwitra memaparkan bahwa tulisannya mencoba untuk mengkritisi peristiwa riil di Bali dalam sanksi kasepekang, fenomena yang sampai saat ini menjadi isu pro dan kontra di Bali.
“Ketika yang kritis di kritisi kembali, sehingga akan menimbulkan buku baru lagi, sehingga ilmu itu tidak akan pernah selesai. Saya mencoba untuk mengritisi persoalan riil di Bali sehingga menghasilkan pemikiran. Fenomena yang ada di desa adat sampai saat ini menjadi penghias dimedia,” ungkapnya.
Sementara itu Prof. Wesna Astara memaparkan inti dari buku yang ditulisnya selama lima tahun, sebagian besar hasil besar penelitian dengan mengacu pada teori-teori.
“Dalam riset kita mengenal no resert no science, no science no development,” katanya. Buku ini diilhami oleh Heraclitus. Panta rhey (segala sesuatu mengalir). Peristiwa itu adalah mengalir , termasuk ilmu hukum itu mengalir,” ujar Prof Wesna.
Buku yang secara lugas membongkar persoalan politik hukum pertanahan di Bali. Ia menyoroti bahwa praktik eksploitasi tanah seringkali terjadi karena lemahnya pengawasan, minimnya partisipasi masyarakat, dan dominannya kepentingan investasi dalam pengambilan keputusan tata ruang.
Dalam sesi FGD, para mahasiswa dan dosen memberikan pandangan kritis serta usulan konkret, seperti perlunya penguatan peraturan daerah (PERDA) tentang alih fungsi lahan, pendaftaran tanah ulayat, dan peran hukum adat dalam pembangunan pariwisata Bali.
Isu kasepekang yang masih terjadi di beberapa daerah di Bali menjadi menarik dalam FGD. Prof. Istri Atu Dewi bahkan menyampaikan pandangan terhadap kasepekang dalam persefektif Hak Asasi Manusia (HAM).
“Perlu adanya mekanisme dalam menentukan sanksi kasepekang bagi warga adat, sehingga tidak bertentangan dengan hukum nasional. Bukan untuk menghilangkan tradisi yang ada namun perlu adanya satu mekanisme atau tahapan yang dilakukan oleh desa adat dalam memutuskan sanksi kasepekang,” katanya.
Baik penulis maupun tim bedah buku berharap dari kegiatan ini menjadi ruang dialog yang konstruktif antara dunia akademik dan pembuat kebijakan, serta meningkatnya kesadaran generasi muda terhadap pentingnya menjaga tanah Bali sebagai sumber kehidupan dan identitas budaya. “Tanah bukan sekadar komoditas, tetapi warisan yang harus dilindungi demi masa depan Bali,” tambahnya.
Kegiatan ini ditutup dengan komitmen bersama untuk terus mendorong lahirnya kebijakan pertanahan yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada kepentingan rakyat serta kelestarian lingkungan di Bali.
[Ken]