DENPASAR, KEN-KEN — Insiden kontroversial yang melibatkan advokat M. Firdaus Oiwobo, yang melompat ke meja hakim dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara beberapa waktu lalu, kembali memantik perdebatan publik tentang integritas profesi hukum dan wibawa lembaga peradilan. Tindakan tersebut dinilai tidak hanya melanggar etika, tetapi juga mencerminkan kelemahan sistem pengawasan advokat di Indonesia.
Dalam kajian akademik yang dilakukan oleh Dr. I Dewa Agung Gede Mahardhika Martha, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, perilaku Firdaus dikategorikan sebagai contempt of court tindakan yang merendahkan proses persidangan. Meski belum ada regulasi komprehensif terkait hal ini, KUHP dan UU Kekuasaan Kehakiman telah memberikan dasar hukum untuk menindak perilaku semacam itu.
“Advokat adalah officium nobile, profesi mulia yang harus menjaga martabat hukum. Ketika perilaku tidak pantas dibiarkan, kepercayaan publik terhadap sistem peradilan ikut tergerus,” ujar Dr. Mahardhika dalam hasil penelitiannya.
Sistem Pengawasan yang Belum Tuntas
Penelitian tersebut mengungkap sejumlah kelemahan dalam sistem self-regulatory organisasi advokat, antara lain:
- Sanksi etik yang tidak konsisten
- Minimnya transparansi putusan Dewan Kehormatan
- Mekanisme pengaduan publik yang tidak ramah akses
- Konflik kepentingan internal
- Fragmentasi standar etik antarorganisasi
Kondisi ini menyebabkan pelanggaran etik berulang tanpa efek jera, dan memperlemah citra advokat sebagai penjaga keadilan.
Seruan Reformasi: Tiga Langkah Strategis
Dr. Mahardhika mengusulkan tiga langkah reformasi pengawasan profesi:
- Pengawasan Terpadu Kolaborasi antara organisasi advokat, Mahkamah Agung, dan lembaga independen untuk memastikan objektivitas penegakan etik.
- Revisi UU Advokat Pembaruan UU No. 18 Tahun 2003 dengan memasukkan ketentuan khusus tentang contempt of court, harmonisasi sanksi, dan perlindungan pelapor.
- Pendidikan Etik Berkelanjutan Penguatan Continuing Legal Education dengan materi etika profesi, tata krama persidangan, dan prinsip due process of law.
Kasus Firdaus Oiwobo menjadi pengingat bahwa kebebasan beracara tidak boleh mengabaikan etika dan penghormatan terhadap institusi hukum. Reformasi pengawasan profesi advokat dinilai sebagai langkah krusial untuk memulihkan kepercayaan publik dan menjaga marwah peradilan di Indonesia.
Editor: Ken


