Penegakan Hukum Dugaan Pelanggaran di Kawasan Tahura: Junjung Asas Praduga Tak Bersalah dan Transparansi Publik

0
49
Foto: Dr. I Wayan Rideng, S.H., M.H. (ist.

DENPASAR, KEN-KEN — Dugaan adanya aktivitas pembangunan dan kegiatan pariwisata di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) kembali menjadi perhatian publik dan kalangan pemerhati lingkungan. Berdasarkan hasil pemantauan, sejumlah pihak mendesak aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran tersebut dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah dan prinsip transparansi penyidikan.

Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan Tahura merupakan wilayah konservasi yang memiliki fungsi perlindungan ekosistem, pelestarian keanekaragaman hayati, dan pengendalian tata air. Karena itu, kegiatan pembangunan ataupun pengusahaan pariwisata di dalam kawasan tersebut dilarang tanpa izin yang sah.

“Apabila benar terjadi aktivitas pembangunan atau pengusahaan pariwisata di kawasan Tahura tanpa dasar hukum yang jelas, maka tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran hukum atau bahkan tindak pidana lingkungan hidup,” ujar Dr. I Wayan Rideng, S.H., M.H., akademisi hukum lingkungan Universitas Warmadewa, Selasa (4/11).

Baca Juga  Pemkot Denpasar Apresiasi Capaian Kontingen Porprov Bali XVI

Meski demikian, akademisi tersebut menegaskan pentingnya menegakkan asas praduga tak bersalah sebagaimana dijamin dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ia menambahkan bahwa setiap proses penyelidikan dan penyidikan harus dilakukan secara hati-hati, profesional, dan tetap menghormati hak-hak hukum pihak-pihak yang diduga terlibat.

“Penegakan hukum lingkungan tidak boleh dilakukan secara terburu-buru atau menimbulkan trial by media. Transparansi dalam proses penyidikan menjadi kunci agar publik memahami bahwa negara hadir menegakkan hukum dengan cara yang adil dan akuntabel,” tegasnya.

Proses hukum terhadap dugaan pelanggaran di kawasan Tahura juga perlu melibatkan pemangku kepentingan lokal, termasuk desa adat yang berbatasan dengan wilayah konservasi tersebut. Prinsip partisipasi masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU PPLH, menjadi bagian penting dari upaya pengawasan publik.

Baca Juga  Wali Kota Jaya Negara Buka Sosialisasi Bersama KPK RI

“Desa adat memiliki peran moral dan sosial untuk ikut menjaga kawasan konservasi. Dengan melibatkan mereka, penegakan hukum akan lebih transparan dan berakar pada kearifan lokal,” ujarnya.

Sejumlah pemerhati lingkungan menilai bahwa dugaan pelanggaran di kawasan Tahura dapat dikategorikan sebagai kejahatan lingkungan besar (serious environmental crime) karena melibatkan kerusakan yang bersifat masif dan berdampak lintas sektor, termasuk pada tanah, kehutanan, dan sumber daya air. “Apabila dugaan ini terbukti, maka ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan bentuk land criminal yang merusak keseimbangan ekologis dan menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat,” kata seorang aktivis lingkungan di Denpasar.

Hingga berita ini dirilis, pihak berwenang belum menyampaikan keterangan resmi terkait hasil penyelidikan. Publik berharap agar aparat penegak hukum bekerja secara profesional, objektif, dan transparan, serta membuka hasil penyidikan kepada masyarakat sebagai wujud tanggung jawab publik.

Editor: Ken

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here