
GIANYAR, KEN-KEN – Sidang gugatan perdata terkait sengketa warisan kembali digelar oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gianyar dalam perkara Nomor 286/Pdt.G/2024/PN.Gin, dengan susunan majelis terdiri dari Hakim Ketua Putu Endru Sonata, S.H., M.H. serta dua hakim anggota, pada Senin, (7/7/2025) di Gianyar.
Dalam sidang tersebut, kuasa hukum Penggugat yaitu Ketut Bagiada, S.H., Putu Ekhasta Suryawan, S.H., menghadirkan saksi ahli di bidang hukum adat Bali, yakni Dr. I Wayan Rideng, S.H., M.H., akademisi dari Fakultas Pascasarjana Universitas Warmadewa, guna memberikan keterangan terkait status keabsahan anak angkat dalam perspektif hukum adat Bali.
Menurut kuasa hukum Penggugat, terhadap pihak (Tergugat) yang mengklaim sebagai anak angkat dari almarhum pewaris, dan karena itu mengaku sebagai ahli waris. Namun pihak keluarga terdekat tidak pernah diberitahu mengangkat tergugat sebagai anak, baik secara adat maupun secara hukum yang berlaku.
“Hak klien kami atas harta warisan dari almarhum keluarga terhalang karena klaim sepihak dari tergugat sebagai anak angkat. Namun hingga kini tidak ditemukan bukti otentik atau proses pengangkatan yang sah menurut hukum adat Bali,” ujar kuasa hukum Penggugat dalam persidangan.
Sementara itu menurut saksi ahli, Dr. I Wayan Rideng dalam keterangannya di hadapan majelis hakim menegaskan bahwa dalam hukum adat Bali, pengangkatan anak (anak angkat/adat) hanya dianggap sah apabila memenuhi unsur utama, yaitu:
Kesatu, Kesepakatan keluarga (senggama) yaitu pengangkatan dilakukan dengan persetujuan keluarga besar dan disaksikan masyarakat adat. Kedua, Ritual spiritual (meperas) sebagai suatu upacara ritul kepada leluhur atau Tuhan, sebagai wujud restu niskala, pengakuan rohaniah atas pengangkatan anak. Ketiga, Pemberitahuan sosial (nyobyahang), diumumkan secara terbuka kepada krama desa adat agar pengangkatan anak dikenal oleh lingkungan sosial dan adat. Keempat, Pemenuhan kewajiban di desa adat, dimana anak angkat harus menjalankan peran dan tanggung jawab sebagai anggota keluarga dan krama adat, termasuk dalam upacara dan kewajiban sosial lainnya.
Menurut saksi ahli, tanpa terpenuhinya syarat-syarat tersebut, maka pengangkatan anak tidak dapat dianggap sah, baik secara adat maupun dalam konteks klaim hak waris.
“Secara adat, warisan diberikan kepada ahli waris yang sah berdasarkan garis keturunan (patrilineal), bukan berdasarkan pengakuan sepihak. Anak angkat hanya bisa mewaris jika pengangkatannya sah dan diakui secara adat,” jelas Dr. Rideng.
Persidangan lanjutan dijadwalkan untuk menghadirkan saksi fakta dan bukti-bukti tertulis, termasuk apakah ada ritual meperas, pengakuan keluarga, dan nyobyahang yang dilaksanakan oleh pewaris semasa hidup. (*aw)
Editor: Ken