Putusan MK: Pemilu Nasional dan Pilkada Harus Dipisah, Demi Kualitas Demokrasi dan Efisiensi Penyelenggara

0
182
Foto: Sidang Mahkamah Konstitusi.

JAKARTA, KEN-KEN – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak lagi dilakukan secara serentak dalam satu tahun yang sama. Dalam amar putusannya yang dibacakan pada Kamis malam (27/6), MK menyatakan bahwa pemisahan waktu antara Pemilu nasional dan Pilkada merupakan langkah konstitusional untuk menjamin kualitas demokrasi, efisiensi kerja penyelenggara, serta keterlibatan pemilih secara substantif.

Ketua MK Suhartoyo yang memimpin sidang, menegaskan bahwa beban kerja penyelenggara dan kejenuhan pemilih menjadi pertimbangan penting dalam putusan ini. Selain itu, MK juga menyoroti dampak sistem pemilu yang transaksional akibat tekanan elektoral jangka pendek.

“Proses pemilihan yang serentak lima kotak dalam satu waktu telah mengarah pada praktik transaksional, sehingga pemilu jauh dari proses yang ideal dan demokratis. Partai politik pun terdorong merekrut calon berbasis popularitas semata, demi kepentingan elektoral,” terang Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam pembacaan pertimbangan hukum.

Kualitas Penyelenggaraan Pemilu Terganggu

Arief menjelaskan bahwa pada Pemilu 2024 lalu, tumpukan tahapan pemilu nasional dan pilkada dalam satu tahun menyebabkan penyelenggara bekerja dalam tekanan yang sangat berat, sehingga berdampak pada kualitas tahapan dan integritas proses.

“Tugas inti penyelenggaraan pemilu hanya berlangsung sekitar dua tahun dalam satu periode lima tahun, sehingga masa jabatan penyelenggara menjadi tidak efisien dan tidak efektif,” tegasnya.

Baca Juga  Walikota Jaya Negara dan Wawali Arya Wibawa Tuntaskan Retret Gelombang II, Siap Lanjutkan Sinergi Pusat-Daerah Menuju Denpasar Maju

Jenuh dan Tidak Fokus, Pemilih Jadi Korban Teknis

Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menambahkan bahwa pemilih mengalami kejenuhan dan kebingungan akibat banyaknya pilihan dalam waktu yang bersamaan. Pengalaman Pemilu 2024 dengan sistem lima kotak menciptakan tekanan teknis yang menurunkan kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat.

“Fokus pemilih terpecah karena banyaknya calon, sementara waktu mencoblos sangat terbatas. Ini berdampak serius pada kualitas pemilu,” ujarnya.

Jarak Ideal Pemilu Nasional dan Pilkada

Terkait waktu pelaksanaan, MK tidak menentukan tanggal spesifik, namun menetapkan parameter normatif. Pemungutan suara nasional (DPR, DPD, Presiden/Wapres) harus dilaksanakan terlebih dahulu. Selanjutnya, Pilkada (gubernur, bupati/walikota, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota) digelar paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan pejabat pusat.

“Dengan demikian, pemilu nasional dan lokal tetap serentak dalam prinsip, tapi tidak dalam praktik waktu pelaksanaan,” jelas majelis.

Masa Transisi Jadi Kewenangan Legislator

Soal pengaturan masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD hasil pemilu 2024, MK menyatakan bahwa pengaturan masa transisi adalah ranah pembentuk undang-undang. Legislator diminta merumuskan masa peralihan ini secara konstitusional dan proporsional.

“Pembentuk UU dapat melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) untuk memastikan masa transisi tidak menimbulkan kekosongan kekuasaan atau konflik legalitas,” tutur Arief.

Editor: Ken

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here