Hukum dan Desa Adat: Unwar dan Universitas Surakarta Bahas Model Koeksistensi di Desa Bali dan Jawa

0
344
Foto: Dr. I Wayan Rideng, S.H., M.H., saat memberi kuliah mahasiswa Magister Hukum, Fakultas Pascasarjana, Unwar, (13/6).

DENPASAR, KEN-KEN – Kerja sama antarperguruan tinggi terus diperkuat, termasuk dalam pengembangan wawasan hukum berbasis lokalitas. Hal ini terwujud dalam kuliah umum kolaboratif antara Fakultas Hukum dan Magister Hukum Universitas Warmadewa (Unwar) dan Fakultas Hukum Universitas Surakarta, Jumat (13/6/2025), di Gedung Fakultas Hukum Unwar.

Koordinator Pengembangan Kurikulum Magister Hukum Unwar, Dr. I Wayan Rideng, S.H., M.H., menyampaikan bahwa kuliah umum ini tidak hanya menghadirkan diskusi akademik biasa, melainkan menjadi ruang bertukar pikiran mengenai struktur desa dan pengaruhnya terhadap pembangunan berbasis hukum adat.

“Kolaborasi ini menjadi sarana tukar pengalaman antar-dosen dan mahasiswa. Kami membandingkan bagaimana keberadaan desa adat di Bali mampu menjadi penopang utama budaya, pariwisata, hingga kesejahteraan masyarakat, sementara di Jawa, kelembagaan adat tidak terbentuk sehingga pengelolaan desa cenderung lemah dalam aspek budaya,” ujar Rideng.

Baca Juga  FESTA 2025 Resmi Dibuka, Bupati Sanjaya Tegaskan Semangat Gotong Royong Antar Desa

Ia menambahkan, desa adat di Bali menjadi role model bagi daerah lain dalam pelestarian budaya dan pembangunan pariwisata. Namun sayangnya, daerah lain belum tentu memiliki fondasi kelembagaan adat yang sama kuatnya.

“Desa adat mampu melindungi, memperkaya, dan memberdayakan masyarakat melalui sinergi budaya, agama, dan teknologi. Ini membedakan Bali dengan daerah lain,” jelasnya.

Kuliah umum ini juga menunjukkan antusiasme tinggi dari mahasiswa, terutama dari Universitas Surakarta. Sekitar 60 mahasiswa hadir langsung untuk menyimak pemaparan akademisi Bali mengenai kekuatan desa adat.

Baca Juga  Unwar dan Universitas Surakarta Gelar Kuliah Umum: Bedah Smart Village dan Desentralisasi Hukum Desa

Rideng yang aktif dalam memberikan kajian hukum dan mengisi rubrik di media online, cetak dan juga televisi, menegaskan bahwa diskusi ini sekaligus memperkuat kerja sama kelembagaan. Hal ini ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) yang akan ditindaklanjuti dalam implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi, seperti riset kolaboratif dan pertukaran dosen atau mahasiswa.

Dalam pemaparan akademik oleh Prof. Dr. I Made Suwitra, dijelaskan bahwa keberadaan hukum adat dan hukum negara di Bali tidak saling bertentangan. Keduanya berjalan koeksisten, saling menopang demi tata kelola pemerintahan desa yang adaptif dan berakar kuat.

Sementara itu, sistem pemerintahan desa di Jawa cenderung mengacu secara normatif pada Undang-Undang Desa, dengan penekanan pada pelayanan administratif dan digitalisasi. Berbeda dengan desa adat Bali yang secara struktural sudah mengadopsi teknologi tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisional.

Baca Juga  Bali Diganjar Penghargaan Nasional, Komitmen Kawasan Tanpa Rokok Kian Diperkuat

“Di Bali, desa adat tidak alergi terhadap teknologi. Justru penguatan struktur adat memperkuat akomodasi terhadap kemajuan digital, asalkan digunakan secara profesional dan sesuai konteks,” pungkas Rideng.

Ia pun menutup dengan menegaskan kembali pandangan Prof. Suwitra, bahwa bila ingin memahami desa adat secara utuh, maka belajarlah dari daerah-daerah yang memang memiliki struktur desa adat yang masih hidup dan berkembang – seperti di Bali.(aw)

Editor: Ken

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here