Tabanan, ken-kenkhabare.com | Bali Lintas Media – Rahinan Tumpek Landep, sebagai hari suci umat Hindu umat Hindu yang jatuh pada rahina, Saniscara , Kliwon, Landep, (3/1/2023).

Dalam tataran filosofis, esensi Tumpek Landep disinggung dalam lontar Sundarigama: ‘Tumpek landep pinaka landeping idep. ‘ Artinya, Tumpek Landep pada hakikatnya bertujuan untuk mengasah ketajaman pikiran (landeping idep) .
Tumpek Landep adalah hari suci Hindu yang didasarkan pada pertemuan wawaran dan pawukon dalam sistem kalender Jawa-Bali, yakni Saniscara Kliwon (Sabtu Kliwon) wuku Landep. Kata landep berarti tajam atau merupakan wuku ke-2 dalam sistem pawukon. Bagi umat Hindu, hari ini diyakini menjadi otoñan atau selamatan bagi semua senjata tajam, alat perang, peralatan dari besi, dan sebagainya (Tim, 2002: 123). Dasar pelaksanaan upacara ini adalah Lontar Sundarigama, yang berbunyi sebagai berikut:
“Kunang ring wara Landep, Saniscara Kliwon, puja wali Bhatara Siwa, mwah yoganira Sanghyang Paceupati, puja wali Bhatara Siwa tumpeng putih kuning adan-adanan, iwak sata sarupania, grih trasibang, sedah wah, haturakna ring sanggar. Yoga Sanghyang Sri Pasupati, sesastra jayeng prang, sesayut kusuma yudha, suci, daksina, peras, canang wangi-wangi, astawakna ring sarwa sanjata, lendepaning prang.
Kalingania ring wwang, denia paceupati, landeping idep, samangkana talaksanakna kang japamantra wisesa Paceupati“
Artinya:
Pada hari Wuku Landep, Saniscara Kliwon (Sabtu Kliwon) adalah hari pemujaan Bhatara Siwa dan hari yoganya Sanghyang Paceupati. Adapun sarana untuk pemujaan Bhatara Siwa adalah tumpeng putih selengkapnya, lauknya ayam sebulu-bulu, grih trasibang (ikan asin dan terasi merah), sedali woh, dihaturkan di Sanggar Pamujan (tempat pemujaan). Sementara itu, untuk pemujaan Sanghyang Paoeupati dihaturkan, sesayut jayeng prang, sesayut kusuma yudha, suci, daksina, peras, canang wangi-zvangi. Babantenan ini ditujukan (di-ayab-kan) kepada semua jenis senjata sehingga bertuah dalam perang. Adapun hakikatnya dalam diri manusia, ialah tajamnya pikiran (idep), untuk itu laksanakanlah japa mantra untuk mendapatkan anugerah Pasupati.
Dari uraian lontar tersebut dapat dipahami bahwa ista dewata yang dipuja dalam pelaksanaan Tumpek Landep adalah Bhatara Siwa dalam manifestasi-Nya sebagai Sanghyang Pasupati. Paoeupati dalam teologi Hindu adalah manifestasi Siwa sebagai Raja binatang (Paceu = binatang; pati = raja). Akan tetapi dalam praktik keagamaan Hindu di Indonesia, Paceupati juga berarti upacara pemberkatan, upacara untuk memberikan tuah pada benda-benda pusaka untuk mendapatkan kekuatan magis (Tim, 2002:81). Dengan demikian upacara Tumpek Landep tepat dimaknai sebagai pemujaan kepada Sanghyang Pasupati untuk mendapatkan anugerah berupa tuah (kekuatan/sakti) bagi senjata tajam atau alat-alat perang dan peralatan kehidupan manusia khususnya yang terbuat dari logam. Ini sekaligus menegaskan bahwa upacara Tumpek Landep bukanlah pemujaan kepada besi sebagaimana pemahaman masyarakat yang keliru selama ini.
Pada kenyataannya pelaksanaan upacara Tumpek Landep telah mengalami perubahan dalam pelaksanaannya sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia. Kata “landep” yang berarti tajam menunjuk pada alat-alat kehidupan yang telah digunakan manusia sejak dahulu kala. Pada zaman berburu sudah dikenal beberapa senjata tajam yang terbuat dari batu atau logam untuk tujuan perburuan. Kemudian, pada masa bercocok tanam juga muncul peralatan-peralatan untuk bertani seperti, cangkul, sabit, dan sebagainya.

Upacara ini semakin mendapatkan signifikansinya pada zaman kerajaan sehingga senjata tajam dan peralatan perang (landeping prang) menjadi objek utama dalam pelaksanaan Tumpek Landep. Akan tetapi, sekarang ini momentum Tumpek Landep digunakan umat Hindu untuk mengupacarai peralatan besi hasil teknologi modern seperti, mobil, sepeda motor, dan komputer. Ini menandakan telah terjadinya pergeseran dalam pelaksanaan Tumpek Landep dalam masyarakat Hindu. Namun pergeseran itu terjadi pada tataran fisik, bukan pada substansi maknanya. Pertanda ini sekaligus membuka peluang untuk melakukan reinterpretasi dan revitalisasi makna Tumpek Landep sehingga keberadaannya dapat didialogkan dengan konteks kekinian.
Upaya menyelami kedalaman makna Tumpek Landep dilakukan dengan menyimak kutipan lontar Sundarigama bahwa hakikat Tumpek Landep adalah mengasah ketajaman pikiran (landeping idep). Landeping idep dipandang menjadi spirit Tumpek Landep yang hendak dibangun sang kawi melalui lontar tersebut. Memahami spirit yang ingin dibangun sang kawi dan memadukannya dengan konteks kekinian merupakan langkah hermeneutis yang ditempuh untuk memaknai Tumpek Landep. Selain itu, dengan menggunakan Sundarigatna sebagai landasan berpijak untuk menyelami makna Tumpek Landep maka pemaknaannya tidak kehilangan sentuhan otentik. Di sini lontar Sundarigatna diposisikan pada otensitasnya sebagai susastra Hindu yang mengejewantahkan spirit ajaran suci Weda terutama mengenai acara agama.
Berkenaan dengan upacara Tumpek Landep Seperti dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra (II, 6) bahwa acara agama merupakan salah satu sumber ajaran agama Hindu.
Idhdnim dharma pramdnamydha
Wedo ‘khilo dharma mulam smrti sile ca tadviddm
Acara’scaiva sadhunam atmanastustir eva ca
Artinya:
Seluruh pustaka suci Veda merupakan sumber pertama dari Dharma, kemudian adat istiadat, lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang bijak yang mendalami ajaran suci Veda; juga tata cara kehidupan orang suci dan akhirnya kepuasan pribadi.
Uraian sloka dalam Manawa dharmasastra di atas menegaskan bahwa upacara Tumpek Landep memiliki dasar sastra yang jelas. Selanjutnya, sastra inilah yang menjadi sumber kebenaran dari pelaksanaan Tumpek Landep sehingga melegitimasinya menjadi sistem ritual Hindu yang otentik dan utuh. Sistem ritual yang utuh setidak-tidaknya terbangun oleh (a) adanya sistem keyakinan yang mendasari pelaksanaan upacara; (b) tata cara pelaksanaan upacara (dudonan atau eed); (c) sarana ritual (upakara); dan (d) pelaku upacara. Dengan memahami setiap komponen dari sistem ritual tersebut maka dapat digali keseluruhan makna dari ritual Tumpek Landep.
Seperti juga yang dilakukan di Merajan Pasek Gaduh, Desa Adat Pemanis, Penebel, Tabanan, selain juga melalukan upacara yajna terhadap keris yang menjadi pusaka sentana Pasek Gaduh yang ada di Pemanis, juga dilaksanakan pengerainan (piodalan) di Merajan Gede Pasek Gaduh Pemanis.

Menurut Kepala Tunggalan Sanggah Gede, Drs. I Ketut Wirya Winata, sentana Pasek Gaduh yang ada di Pemanis adalah bagian dari Pasek Gaduh yang ada di Pura Kawitan Pasek Gaduh yang berada di Br. Dalung Gaji, Badung. Namun Pasek Gaduh yang ada di Pemanis dalam penyebarannya tidak terlihat di buku-buku atau lontar.
Hal ini menurutnya, kemungkinan karena tempat yang jauh dari kota, dimana pada tahun 50-an dan pada tahun 70 an baru mulai ada kendaraan itupun masih hanya sampai di kota kecamatan. Demikian juga sarana komunikasi pada saat itu.
Tunggalan Pasek Gaduh yang ada di Pemanis pada awalnya hanya lima Kepala Keluarga inti, sampai saat ini berkembang menjadi 10 KK. Dan tergolong Merajan Gede yang paling sedikit warganya di Desa Adat Pemanis.
Seperti yang dikatakan Ketut Wirya Winata, karena saat jaman kerajaan terdahulu (kerajaan Mengwi), terjadinya peperangan raja-raja di Bali mengakibatkan rakyat banyak yang mengungsi sampai jauh kepedalaman sampai juga ke Pemanis (dusun terpencil jauh dari keramaian/red) Dan ini terjadi pada sentana Pasek Gaduh, dan kemungkinan ikut melarikan diri sampai ke Pemanis.
“Astungkara jalannya upacara piodalan (pengerainan) di Sanggah Gede Pasek Gaduh sudah berjalan dengan lancar. Seluruh Sentana Pasek Gaduh, alit-alit (anak-anak) sudah dengan khidmat turut melaksanakan piodalan dan persembahyangan bersama,” ujarnya.
“Upacara dipuput oleh Jero Mangku Pura Puseh Kahyangan Tiga Pemanis, dan juga Mangku Sanggah Gede Pasek Gaduh Pemanis,” tambahnya.
[AW/Red]
[Sumber Literasi : PHDI]